Merupakan sebuah aspek kehidupan
yang penting bagi orang batak, yakni falsafah sosial orang batak. Falsafah yang
dimaksud ialah Dalihan Na Tolu dan Suhi Ni Ampang Na Opat. Falsafah ini sudah lama ada di kehidupan suku
Batak dan merupakan rujukan di dalam aktifitas kemasyaraktan seperti uparaca
ada perkawinan, upacara kematian, memasuki rumah, musyawarah dan yang lainnya.
Falsafah tersebut sekaligus pedoman dalam bertingkah laku “ adat sopan santun”
dalam pergaulan interaksi kekerabatan yang kecil sampai kelompok besar.
Dalihan Na Tolu (
Tungku yang Tiga)
Secara harfiah bermakna “tungku
yang tiga”. Diambil dari kebiasaan orang Batak pada masa bersahaja dahulu
ketika memasak sesuatu makanan diatas batu yang jumlahnya tiga dan sama sisi.
Dalihan Na Tolu pada masyarakat batak adalah asas system kekerabatan dan semua
aktifitas.
Dalihan Na Tolu dilatarbelakangi oleh adanya krisis social kekerabatan pada generasi ketiga setelah Si Raja Batak. Peristiwa dimaksud terjadinya marsumbang atau kawin incest antara Tuan Sariburaja dengan saudari kandungnya(iboto) yang bernama si Boru Pareme. Kedua orang tersebut adalah anak dari Tatea Bulan sebagai generasi kedua beserta Raja Isumbaon. Akibat perbuatan itu Sariburaja dikabarkan lari kedalam hutan sementara siboru pareme juga diusir dari kampong Sianjur Mulamula.
Kemudian masa berikutnya, Raja
Lontung mengawini ibu kandungnya (siboru Pareme) yang sebelumnya diketahui
istri bapaknya sendiri. Akibatnya terjadi perpecahan hubungan kekerabatan seluruh
keturunan Tatea Bulan.
Belajar dari perbuatan itu,
keturunan Tatea Bulan dan Raja Isumbaon memikirkan suatu norma yang akan
mencegah perbuatan memalukan itu. Sejak itu timbullah gagasan suatu konsep
dasar aturan tentang batasan hubungan kekerabatan antar keturunan mereka secara
lisan yang kemudian disebut Dalihan Na Tolu.
Semakin bertambahnya penduduk
maka semakin terbuka kemungkinan perkawinan antar puak puak yang pada akhirnya
masyarakatnya semakin kompleks. Maka dimulailah penggolongan anggota masyarakat
dengan kategori Hula hula, Boru, dan dongan sabutuha (teman satu marga).
Pertama, ialah dongan
sabutuha yang bermakna lahir dari perut yang sama atau disebut juga
dongan tubu(teman satu kelahiran). Makna yang pertama menggambarkan hubungan
keluarga yang masih dekat seperti satu ompung (kakek). Makna yang kedua adalah
keluarga besar yang satu marga tanpa memandang hubungan silsilah yang
dekat. Fungsi dongan sabutuha dalam
system kekerabatan adalah sebagai pendamping dan penolong bagi keluarga yang satu
marga apabila ada dari satu marga bertindak sebagai suhut (tuan rumah).
Kedua, ialah hula hula . mereka ini
wajib dihormati oleh boru baik dalam hubungan social sehari hari maupun adat,
karena status mereka adalah si pemberi istri (wife givers). Golongan didalamnya
adalah orangtua perempuan si pemberi istri beserta semua “ dongan
sabutuha”-nya.
Ketiga, ialah boru
atau kebalikan dari hula hula. Dalam
dalihan na tolu diposisikan sebagai si pengambil istri (wife takers). Fungsi
boru boleh dikatakan sebagai kelompok “si loja loja” karena dialah yang
bertindak sebagai petugas utama dalam upacara adat perkawinan dan upacara lain.
Bahkan lebih dari itu pihak boru harus si penyumbang dana yang terbesar bagi
pihak hula hula.
Demikianlah ketiga komponen itu menyatu dalam Dalihan
Natolu diterapkan dalam upacara perkawinan, tata krama pergaulan hidup. Inti dari falsafah itu adalah : hormat
marhula hula (hormat kepada pihak si pemberi istri), elek
marboru (pandai membujuk boru) dan manat mardongan tubu (sesama saudara
semarga lebih berhati hati).
Suhi Ni Ampang Na
Opat
Secara
harfiah “Suhi Ni Ampang Na Opat” berarti sudut ampang yang empat. Istilah ini
di ambil dari kata ampang yang dalam bahasa Batak bermakna sejenis keranjang
yang hamper serupa bentuknya dengan bakul. Ampang ini memiliki empat
“suhi”(sudut). Dari ampang yang bersegi empat ini menjadi symbol falsafah “Suhi
Ni Ampang Na Opat”.
Komponennya adalah
Komponennya adalah
·
Hormat marhula hula (hormat kepada si pemberi istri)
·
Elek marboru (bersikap membujuk kepada
sipengambil istri)
· Manat mardongan tubu (hati hati sesama kakak adik
atau sesama marga)
·
Hormat mar-raja (hormat kepada raja).
Dalam
penerapannya, raja tetap didaulat sebagai orang yang penting dan utama dan
bukan diibaratkan seperti sihal-sihal yang sewaktu saja dibutuhkan. Dalam
acara, posisi raja disejajarkan dengan hula hula, boru dan dongan sabutuha.
Khusus dalam keagamaan, semua yang termasuk pemimpin agama mendapat jambar
(bagian tersendiri sebagai penghormatan kepada mereka)