Menurut Legenda yang sangat dipercayai oleh sebagian masyarakat Nias terutama yang tinggal di pedesaan, bahwa asal usul orang Nias adalah diturunkan dari langit (NIDADA MOROI BA LANGI). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Nias memang unik, pulaunya terisolasi samudera Hindia. Topografinya berkontur ekstrem, dari pantai yang landai langsung menanjak ke daerah perbukitan dan pegunungan. Di daerah ini tradisi megalit belum terhapuskan. Nias termasuk salah satu dari tujuh tempat di dunia yang budaya megalitnya masih hidup, The Living Megalith Culture. Dan karena itulah UNESCO merencanakan memasukan Nias sebagaiWorld Heritage, warisan dunia dari Indonesia.
Tradisi Fahombo Nias
Kabupaten Nias memiliki andalan pariwisata yaitu Tradisi Lompat Batu atau Fahombo yang yang sering disebut Batu Hombo yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat setempat Nias dan meloncati susunan batu yang disusun setinggi lebih dari 2 meter. Konon ajang tersebut diciptakan sebagai ajang menguji fisik dan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orang tua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya.
Para pemuda ini kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya jika ada konflik dengan warga desa lain. Melihat kemampuan seorang pemuda yang dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya: menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dan sebagai nya.
Tradisi Adat Pernikahan Nias “taole mbawi”
Umumnya aktivitas adat yang paling penting dalam adat NIAS adalah perkawinan. Pada masa dahulu, perkawinan di NIAS telah ditentukan dari sejak anak kecil / ditunangkan. Tidak diperlukan persetujuan dari anak gadisnya, bahkan setelah ia dipertunangkan sampai hari perkawinannya, si gadis tidak boleh sama sekali menampakkan diri kepada tunangannya dan kaum kerabatnya, tradisi ini masih berlaku sampai sekarang di pedesaan NIAS.
Perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan diatas bumi ini.Perempuan dianggap sebagai sumber kehidupan. Mengawini perempuan di NIAS disebut juga : MANGAI TANOMO NIHA ( mengambil benih manusia ) yang terdapat pada pihak perempuan : disebut dengan istilah UWU/Sibaya atau Ulu ( artinya = paman /saudara ibu ). Perempuan dilambangkan sebagai hulu (kehidupan ) dan laki laki disimbolkan sebagai hilir(kematian ).Untuk memiliki kehidupan,lelaki harus melawan arus sungai (manoso ) disebut Soroi Tou,menuju hulu ( pihakj perempuan) yang berada diatas (ngofi) tepian sungai kehidupan itu.
Dalam pernikahan selain tahap-tahap yang cukup njelimet kalau semua diikuti (ada banyak ketua-ketua adat sekarang yang mulai menyederhanakan), ada satu tata cara yang menarik untuk diperlihatkan, yaitu acara “Taole mbawi”, yang dalam bahasa Indonesia lebih kurang berarti, “pemberian ikatan khusus pada punggung seekor babi”. Acara “Taole mbawi” hanya dapat disaksikan pada acara pernikahan dan di rumah mempelai laki-laki.
Pernikahan dalam adat masyarakat Nias, yang disebut jujuran atau mas kawin adalah terdiri dari berapa ekor babi, berapa juta uang dan berapa karung beras. Jujuran ini bukan untuk menjadi harta keluarga perempuan atau harta awal dari keluarga penganten, semuanya adalah sebagai kebutuhan yang dipergunakan pada setiap tahap yang dilalui.
Satu hari sebelum hari pernikahan, Dan sebelum diberangkatkan dari rumah keluarga pria, dilakukan acara adat oleh ketua-ketua adat, dengan istilah “famofanõ mbawi nisõbi” atau pemberangkatan babi penganten. Dan sebelum diberangkatkan dilakukan acara “taole mbawi”. Cara taole mbawi adalah dengan melilitkan tali yang sudah dipersiapkan pada badan babi, dari ketiak sampai ke punggung babi dan menciptakan beberapa ikatan di punggung. Setelah itu babi di beri makan yang terdiri dari nasi dan sebutir telur rebus. Sebelum diberangkatkan maka salah seorang ketua adat memimpin doa. Baru setelah semua itu selesai babi sudah boleh diberangkan menuju ke rumah mempelai perempuan.
Ketika ditanya makna dari semua acara “taole mbawi” ini, tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan pengertiannya secara masuk akal. Hanya dikatakan bahwa, “dari dulu sejak nenek moyang hal ini mereka telah lakukan, maka merupakan kesalahan kalau generasi sekarang tidak melakukannya.”
Jadi peristiwa itu suatu tradisi yang turun temurun, dan semua takut “kena tulah” kalau tidak melakukannya. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya acara “taole mbawi” itu mengandung makna, untuk memperlihatkan perbedaan bahwa inilah jujuran babi yang paling besar di antara jujuran yang lain. Kalau babi nya besar maka suatu kebanggaan tersendiri bagi mempelai pria bahwa ia dapat memberi yang terbaik sebagai bukti kesungguhan hati untuk menikah dengan gadis pujaannya.
Demikian pula sebaliknya, merupakan kebanggaan bagi keluarga mempelai perempuan bahwa ia dihargai dan dihormati oleh keluarga mempelai pria dan menambah status kewibawaan di tengah masyarakat desanya sendiri bahwa menantunya bukanlah orang biasa tetapi orang yang berkecukupan dan terpandang.
sawagolo ga'a..
BalasHapusyaodo ila budaya niha khoda..
omasi yaodo ba blog mo..
ya'ahowu...
horas...