Apa yang paling
mengesankan yang pernah Anda alami sebagai cucu Raja Sisingamangaraja XII?
Ketika
di Bandung semasa kuliah tahun 60-an. Pernah ada sandiwara Sisingamangaraja
XII, saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja. Tidak ada yang tahu saya adalah
cucu Sisingamangaraja XII. Lalu, saat pergelaran berlangsung, undangan dari
Jakarta melihat saya. “Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?”
kata salah satu undangan. Waktu itu sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal
saya.Mereka heran, “pantas dia sangat tahu sejarahnya,” kata mereka. Mengapa
saya tidak mengenalkan diri? Karena saya inginkan masyarakat mengenal
Sisingamangaraja bukan saya. Itu yang mengesankan.
Saat
itu, ada seorang pelukis melukis Sisingamangaraja di tembok. Lukisannya persis.
Sampai sekarang saya tidak tahu dimana lukisan itu. Yang saya ingat waktu itu
seorang pejabat tentara orang Batak menyimpannya. Sebelum dilukis, pelukis ini
mewawancarai saya seperti apa Sisingamangaraja itu. Acara diadakan di Gedung
Nusantara Bandung. Itulah penghargaan mereka. Tetapi di Bandung tidak ada jalan
Sisingamangaraja, hanya di Yogya yang ada (tertawa).
Sebagai keturunan
Raja Sisingamangaraja XII apakah Anda pernah mengalami hal-hal yang misteri?
Saya
kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangaraja yang bisa melakukan mujizat,
bukan keturunannya. Namun, jika ada hanya orang lainlah yang bisa melihat itu,
bukan kami.
Mengapa
tulang-belulang Sisingamangaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke
Soposurung (Balige). Mengapa justru tidak ke Bakara sebagai asal muasal
Sisingamangaraja XII?
Sebenarnya
yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953 Soekarno datang ke Balige naik
helikopter. Dia berpidato di Lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige.
Dalam pidatonya yang terakhir ia mangatakan bahwa “Balige ini bagi saya sangat
mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige ini yang pertama
dicetuskan orang Batak perang melawan Belanda”.
Setelah
itu, ia menanyakan kuburan Sisingamangaraja XII. Ada yang menjawab di Tarutung.
Soekarno bertanya lagi, kenapa tidak dipindahkan ke Balige? Dari sinilah perang
Batak yang terkenal itu, itu kata Soekarno. Sejak dari situ menjadi diskusi
para tokoh Batak masa itu, termasuk salah satu anaknya Sisingamangaraja XII
Raja Sabidan ketika itu menjabat sebagai Kepala BRI Sumatera Utara setuju.
Jadi,
dibuatlah rapat. Sebab kuburan di Tarutung dianggap sebagai makam tawanan.
Jadi, Sisingamangaraja XII tidak lagi dilihat sebagai Sisingamangaraja XII,
tetapi Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
Anda masih ingat
prosesi pemindahan makam itu; umur berapa Anda waktu itu?
Saya
masih ingat ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung
rombongan pembawa tulang belulang itu dikawal haba-haba (hujan deras disertai
putting beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting
beliung itu berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja.
Dan menyapu bersih semua kotoran yang ada di sekitar makam. Lalu angin itu
menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja XII. Ini fakta karena
saya melihat sendiri kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu.
Ketika
prosesi pemindahan tulang belulang raja Sisingamangaraja XII itu Soekarno
datang?
oh
nggak. Hanya waktu itu ia mengirim telegramnya mengucapkan selamat. Waktu itu
kami hanya empat orang cucu laki-laki. Saya dan dua adik saya tambah Raja
Patuan Sori, ayah dari Raja Tonggo. Katika itu hanya tinggal satu anak, ayah
saya Raja Barita.
Jadi,
istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru
Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari
abangnya, setelah Raja Parlopuk. Yang ada keturunannya sampai sekarang hanya
dari raja Buntal dan Raja Barita. Sementara dari Patuan Anggi anaknya Pulo Batu
meninggal saat umur tiga tahun. Ia meninggal dalam pengungsian, jatuh ke jurang
dengan penjaganya.
Saat
itu, rombongan Sisingamangaraja XII pisah-pisah. Namun, beberapa kali ada
datang pada kami mengaku-gaku “Ahu do Pulo Batu” (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi
tidak masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku. Sebab, kalaulah ia benar seharusnya
sudah lebih tua dari ayah saya. Jadi kami tidak percaya. Jadi sekarang cucu
Sisingamangaraja XII hanya 5 orang lagi. Sayalah yang paling tua.
Apa yang membuat
Sisingamangaraja XII tertangkap?
Sebenarnya,
menurut cerita bahwa Sisingamangaraja XII tertangkap karena ada tiga orang yang
berhianat. Kalau dulu Pollung, Hutapaung terkenal sebagai pendukung
Sisingamangaraja XII. Maka tidak pernah Belanda bisa berhasil tembus ke daerah
ini. Lalu, di Samosir Ompu Babiat Situmorang, ia dengan pasukannya juga raja
yang dengan teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda, mereka bunuh.
Kulitnya dijadikan tagading. Sampai sekarang masih ada di Harianboho. Jadi
merekalah Panglima pasukan Sisingamangaraja XII untuk menghancurkan Belanda.
Lalu di Dairi. Disana ada gua Simaningkir, Parlilitan. Ia di bawah air terjun.
Dari tengah-tengahnya ada pintu masuk. Inilah dipercaya sebagai Benteng
Sisingamangaraja XII melatih semua pasukannya.
Dari mana
Sisingamangaraja XII membiayai pasukaannya?
Dia
tidak memungut pajak. Tetapi katanya di daerah Dolok Pinapan antara Parlilitan
dan Pakkat di sana ada tambang emas.
Soal kepahlawan
Siboru Lopian?
Dulu,
beberapa kali rohnya si Lopian datang ke orang-orang tertentu. Sejak kami
memindahkan saring-saring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung,
Balige. “Pasombuon muna do holan ahu di tombak on (tegakah kalian membiarkan
aku sendiri di hutan ini,” katanya. Sebab, semua keturunan Sisingamangaraja XII
yang meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, Jawa Barat kami sudah
satukan di makam keluarga persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII. Oleh
karena itu, kami pergi ke Dairi, ke Aek Sibulbulon untuk mengambil
tulang-belulangnya Lopian.
Tetapi
tidak mungkin lagi diambil kan? Karena, konon dia juga ditenggelamkan ke dalam
sungai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara adat,
hanya segumpal tanah untuk dibawah ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi
boru Lopian trans pada siapapun.
Saat
pengambilan, kami juga mendapat ancaman bupati dan masyarakat setempat. Mereka
tidak mau bahwa kuburan Lopian dipindahkan. “Sampe adong do istilah tikkini
sian harungguan ikkon seketton nami angka namacoba mambuat i. (Kami akan
bertindak jika ada yang mencoba mengambil kuburan Lopian).” Namun, akhirnya
setelah kita berikan pengertian mereka minta kami untuk mangulosi mereka. 43
margalah mereka yang harus diulosi. Sebenarnya mereka mau minta, perjuangan
Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, sebenarnya
bukan kami yang menentukan. Tetapi kalau bupati meminta kuburan Lopian di Dairi
kami tidak menolak.
Sementara beberapa
tahun yang lalu Tarnama Sinambela mendirikan patung Si Boru Lopian di Porsea.
Bisa anda ceritakan bagaimana prosesi pengangkatan Raja Sisingamangaraja XII?
Untuk
menjadi pengemban Raja Sisingamangaraja ada prosesinya. Saat Raja
Sisingamangaraja XI wafat, Raja Parlopuk anak sulung yang harus menjalankan
tampuk pemerintahan. Namun semuanya harus batal karena kesepakatan Si Onom
Ompu. Sebab sudah tiga kali dilaksanakan pesta margondang, namun Raja Parlopuk
tidak bisa membuktikan syarat-syarat yang diminta. Seperti memanggil hujan.
Sementara Patuan Bosar bisa memenuhinya. Waktu itu ia masih ke Aceh, dari
sanalah ia bisa mengerti bahasa Arab. Dan bergaul dengan orang-orang Aceh. Ia
pulang dari Aceh saat ayahnya sudah meninggal. Sebenarnya Ia tidak mau menjadi
Raja, hanya karena masyarakat setempat memaksa ia harus mau menerimanya.
Jadi
Sisingamangaraja XI lah yang menulis pustaha kerajaan 24 jilid. Hanya pada
kepemimpinan Sisingamangaraja XI lah ada penulisan tentang sejarah. Dan buku
ini sudah dibawa ke Belanda dan masih ada di museum Belanda. Kami pernah
meminta ke Belanda. Tapi menurut mereka, mereka ingin memberikan itu jika sudah
ada gedung yang ber- AC. Tetapi karena belum ada kemampuan keluarga, hal ini
masih terkatung-katung.
Mengapa tidak ada
yang meneruskan (menjadi) Sisingamangaraja ke-XIII?
Sebenarnya
karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu ditentukan
oleh enam marga tadi. Biasanya dilakukan penunjukan di Onan Bale, Di Bakara.
Biasanya dalam acaranya, dibunyikan gondang. Pengangkatan Sisingamangaraja juga
selalu karena ada masalah genting; ada penyakit atau musim paceklik. Ketika itu
menurut mereka hanya jabatan Sisingamangaraja yang bisa menyelesaikan masalah
tersebut.
Sionom Ompu itu
siapa. Apakah keturunan Si Raja Oloan?
Bukan.
Yang disebut Sionom Ompu di Bakkara itu adalah marga Bakkara, Sinambela,
Sihite, Simanullang dan tambah dua marga lain Marbun dan Purba. Itulah marga
penghuni Bakkara. Bukan Siraja Oloan. Sebab Naibaho dan Sihotang itu di
Samosir. Dan mereka itulah raja-raja di Bakkara.
Bagaimana pendapat
Amang tentang beberapa pendapat dinasti Sisingamangaraja yang tidak hanya
berasal dari satu Marga. Ada yang mengatakan Sisingamangaraja itu hanya roh,
bisa datang kepada siapa saja?
Bisa
jadi. Hanya dari 1 sampai duabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang
sejak semula kelahiran Sisingamangaraja pertama hasil pernikahan Bona Ni Onan
dengan boru Pasaribu, ia lahir setelah 19 bulan. Tetapi kalau disebut tidak
mesti Sinambela, saya kira harus dari keturunan Sisingamangaraja. Saya kira
harus dari induknya.
Apakah benar
keluarga Sisingamangaraja XII dipaksa memeluk agama Kristen?
Tahun
1907 semua keturunan Sisingamangaraja ke XII masuk sebagai Tawanan di Pearaja
Tarutung. Lalu, ada marga Tobing mengajari mereka untuk agama Kristen setelah
itu dibaptis. Ketika itu tinggal 5 anak raja Sisingamangaraja XII. Raja Buntal,
Pakilin dan yang lain setelah besar dan disekolahkan ke Jawa. Sebenarnya untuk
pembuangan. Sebab, Belanda melihat jika besar takutnya nantinya jadi
berpengaruh. Jadi mereka dua orang Di Batavia, satu di Jatinegara, satu lagi di
daerah Glodok. Lalu di Bogor, di Kudus meninggal di sana, dan satu di Bandung.Raja
Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah mereka selesai masa belajar
mereka pulang lagi ke Tapanuli. Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil Zending
Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita)
ditempatkan menjadi camat di Teluk Dalam Nias.Sepulang dari Teluk Dalam, ayah
saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Dan perkawinannya dibiayai Belanda di
Porsea. Dengan semua resepsi Adat Batak. Belanda membawa es cream dari Pematang
Siantar. Jadi semua undangan makan es cream waktu itu. Sementara Raja Buntal
menikah juga dibiayai Belanda hanya dengan gaya Belanda.
Siapa Raja Tobing
itu?
Jadi
karena terimakasih dari ompung boru Sagala terhadap kebaikan Raja Henokh
Tobing, diberikanlah putrinya Sunting Mariam menikah dengan putranya. Sementara
Raja Pontas Tobing memberikan tanah tahanan keluarga di Pearaja Tarutung.
Raja
Pontas dianggap mengkhianati Sisingamangaraja XII. Satu waktu, Raja Pontas
memanggil Sisingamangaraja XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan saudaranya.
Begitu Sisingamangaraja XII muncul yang datang ternyata Belanda. Sebenarnya
bukan masalah Kristen, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda. Dengan Raja
Pontas-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari raja ini
minta tanah ini kembali digugat (bersebelahan dengan Pusat HKBP), dekat Rumah
Raja Pontas. Saya bilang, itu tanah yang diberikan Belanda, tetapi tanah itu
kami yang meninggali. Berikutnya pemerintah memberikan bahwa yang menempatilah
yang memiliki hak kepemilikan. Maka itu hak kami.
Sejak kapan
Sisingamangaraja XII melakukan perang terhadap Belanda?
Setelah
Belanda menjadikan Tarutung tahun 1876 sebagai daerah jajahan Belanda.Tahun
1877 rapat raksa di Balige atas reaksi Sisingamangaraja untuk menentang
Belanda. Raja-raja Toba dikumpulkan. Keputusan rapat tersebut ada tiga.
Pertama, Kita akan perang dengan Belanda. Kedua: Kita tidak anti terhadap
Zending. Ketiga: Kita harus membuka hubungan diplomatik dengan suku bangsa yang
lain. Ketika itu Barita Mopul dan Raja Babiat ikut untuk rapat itu.
Dari
sanalah dimulai perang melawan Belanda. Itulah yang disebut Perang Pulas.
Dimulai di Bahal Batu daerah Humbang, Lintong Nihuta. Dilanjutkan di Tangga
Batu, Balige. Pertempuran Pertama Sisingamangaraja XII masih bisa mengalahkan
Belanda. Lalu perang di Balige Sisingamangaraja XII mundur menjadikan perang
Gerilya. Tahun 1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirlah
Sisingamangaraja XII ke arah Dairi.
Kalau tempat-tempat
keramat Sisingamangaraja masihkah dilestarikan sampai saat ini?
Hariara
parjuaratan, disanalah Sisingamangaraja pertama dulu bergantungan, Ini masih
ada. Di bawahnya itu ada komplek kerajaan Sisingamangaraja. Di bawah komplek
ini ada Batu Siungkap-Ungkapon.Masa Nippon ini pernah dicoba selidiki. Tali ini
diulurkan dua gulung, tali diikatkan sampai habis tidak sampai menyentuh tanah.
Konon setiap kerbau yang disembelih darahnya dimasukkan ke dalam Batu
Siungkap-Ungkapon. Sementara Tombak Sulu-sulu itu berada di lokasi perkampungan
marga Marbun. Saat ini mereka sudah berikan tanda-tanda Tombak Sulu-sulu. Jadi
ada disana disebut tempat pemujaan. Jadi kalau marpangir (keramas) di batu
inilah berjemur. Lalu dekat pantai ini ada Aek Sipangolu (air kehidupan).Di dekat
Aek Sipangolu ada namanya Batu Hudulhundulan dikenal tempat istirahat Raja
Sisingamangaraja. Dan didekatnya ada Hariara. Katanya kalau cabangnya patah
menandakan telah meninggal Sisingamangaraja. Kalau ada rantingnya yang patah
itu berarti keturunannya yang meninggal. Katanya kalau ada dari keluarga raja
ini berpesta, maka daun-daunnya akan menari-nari terbalik. Sisingamangaraja XI
makamnya ada di Bakkara.
Asal Usul Raja
Sisingamangaraja
Sisingamangaraja, dinasti
Sisingamangaraja XII, adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja
Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera
Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[1] Dalam sepucuk surat kepada
Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan
kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau, dah
bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang
diduga dibawa dari Pagaruyung. [2] Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja
masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui
perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin
Pagaruyung.
Kerajaan Raja
Sisingamangaraja
Perlu diketahui bahwa kerajaan
Raja Singamangaraja XII yang diwarisinya dari leluhurnya bukanlah sebuah
kerajaan dalam pengertian umum. Secara politik, beliau hanyalah raja negerinya
sendiri, negeri Bangkara (diucapkan Bakkara). Setelah pendeta Ludwig Ingwer
Nommensen membuka pos zending di Silindung maka Singamangaraja khawatir kekuasaan
Belanda akan segera masuk ke Tanah Batak. Beliau menjadi pemimpin negeri-negeri
Batak yang menentang penjajahan Belanda. Karena merasa terancam oleh
Singamangaraja XII maka Nomensen minta agar Belanda mengirim pasukan untuk
segera menaklukkan Silindung. Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di
Pearaja, kediaman penginjil Ludwig Ingwer Nommensen, dan bersama-sama dengan
penginjil Nommensen pasukan Belanda berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun
benteng pertahanan. Si Singamangaraja yang merasa terprovokasi mengumumkan
perang (pulas) pada tanggal 16 Februari. Dalam perang yang menjadi terkenal
dengan Perang Toba (juga disebut Perang Batak atau Perang Singamangaraja),
pasukan Belanda yang diperbantukan oleh pasukan Batak Kristen untuk memberantas
perlawanan Singamangaraja, membakar puluhan kampung, termasuk Bangkara,
kampungnya Singamangaraja XII sendiri. Singamangaraja terpaksa mengundurkan
diri ke daerah Dairi dan dari situ ia berkali-kali menyerang Belanda hingga
akhirnya ditembak mati dalam sebuah patroli Belanda di tengah hutan daerah
Dairi pada tahun 1907.Langit ungu di atas pucuk pinus arah perbukitan Dolok
Sanggul, sungguh memesona. Lembah Bakkara yang membentang, tak kalah cantiknya.
Tetapi, jalan sempit menurun yang terjal dengan kelokan tajam, membuat saya
memilih menatap lurus ke depan.Hari mulai gelap ketika saya memasuki kampung
halaman Sisingamangaraja I-XII di Bius (bahasa Batak artinya desa) Bakkara,
sekitar 280 km dari Medan. Dalam remang, susah menemukan tanda bahwa bius yang
didirikan enam marga (garis keturunan dari lelaki) yaitu Sinambela, Manullang,
Purba, Simamora, dan Sihite, itu pernah jadi benteng terakhir Sisingamangaraja
XII. Padahal, ketika Belanda menguasainya tahun 1883, Bakkara telah berdiri
sebagai bius selama 15 generasi atau telah berdiri sejak abad ke-14.
Kedai kopi di Bakkara sore itu
dipenuhi pengunjung yang semuanya lelaki. Suara televisi yang direlai parabola
berseling obrolan dalam permaian kartu. Tak ada penginapan di sana, tetapi
warga menawarkan menginap di rumah mereka. Saya memilih terus ke arah Muara,
mencari tempat terbaik untuk melihat Danau Toba saat terbitnya Matahari, esok
pagi. Rumah-rumah berdiri dalam jarak berjauhan.
Gemericik
air terdengar di sebuah kelokan, saya berhenti di sana. Ternyata, air terjun
itu adalah Aek Sipangolu yang berarti air yang menghidupkan. Air ini dipercaya
berasal dari bekas tapak kaki gajah Sisingamangaraja. Malam pekat. Api unggun
yang saya buat jadi penerang.
Pukul
21.15, datang mobil berpenumpang delapan orang, separuhnya perempuan. Mereka
mengaku dari Medan. Sebagian lalu mengambil air dan lainnya mandi di pancuran.
”Air ini untuk kesembuhan,” kata lelaki paruh baya.
Orang-orang
yang datang dalam gelap itu pun belalu ke arah Muara. Saya beranjak dan
memutuskan istirahat di pinggir jalan di tepi danau, sekitar dua kilometer dari
Aek Sipangolu.
Jauh
dari arah bukit, kebakaran hutan menimbulkan bunga api. Tiap tahun, perbukitan
di tangkapan air Danau Toba itu terbakar. Dinas Kehutanan Sumut mencatat, tahun
2004 kebakaran hutan di area itu mencapai 410,5 hektar.
Dari
arah danau sesekali terdengar deru mesin perahu nelayan. Di apit bukit terjal
dan danau dengan langit penuh bintang, saya membayangkan malam-malam sepi
Sisingamangaraja XII bersama seluruh keluarganya selama 30 tahun bergerilya
melawan Belanda.
Di
celah bukit yang kini sebagian dilalap api itulah para pejuang Batak dibantu
beberapa panglima asal Aceh melawan Belanda. ”Selama 14 hari, patroli mencari
kembali jejak Sisingamangaraja ke seluruh penjuru, namun tak berhasil.
Pegunungan dengan pepohonan dan semak rimbun, membuat usaha menyingkirkan diri
mudah,” tulisan Letnan J H van Temmen, anak buah Kapten Christoffel, pemimpin
pasukan Belanda yang memburu Sisingamangaraja XII.
Pikiran
terus berkecamuk, tetapi akhirnya saya terlelap juga. Embun pagi membangunkan
saya sekitar pukul 06.00. Udara dingin, tetapi warna jingga langit dan hilir
mudik perahu nelayan, menawarkan pesona yang sayang jika dilewatkan.
Lalu
saya kembali ke arah Bakkara dan berhenti di air terjun Aek Sipangolu yang
semalam tak terlihat jelas. Setelah mandi di air terjun, saya mencari sisa
peninggalan sang pahlawan di Bakkara.
”Ahu”
Sisingamangaraja
Ziarah di Bakkara dimulai dari
Sulu-sulu. Suasana gua sempit di atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah
sungguh menghanyutkan. Gemericik air sungai berbaur dengan gemerisik dedaunan.
Bekas dupa dan rokok untuk persembahan tergelatak di lantai gua. Konon, gua
yang dikeliling pepohonan beringin ini dulu digunakan Sisingamangaraja XII
menggembleng diri.Kemudian saya ke Lumban Raja, kediaman sang raja. Sayang tak
ada lagi sisa benteng sebagaimana digambarkan Modigliani, peziarah dari Roma
yang mengunjungi Bakkara tahun 1900, atau tujuh tahun setelah penyerangan
Belanda. Dikisahkannya, saat itu masih dijumpai tembok keliling tinggi tersusun
dari batu-batu besar.
Yang
terlihat siang itu hanya pintu batu kecil yang dinaungi atap runcing relatif
baru. Jajaran bukit batu yang menjulang menjadi pembatas dari sisi lain.
Bangunan
batu persis di bagian tengah bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar
merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang
Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka
raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Untuk menyandang gelar Sisingamangaraja, sang
pewaris haruslah mampu mencabut pedang ini dari wadahnya.
Marujinta
Sidiani Sinambela, cucu Sisingamangaraja XII yang tinggal di desa itu
mengatakan, bangunan berhias bendera perang itu adalah makam Sisingamangaraja
XI. Sedangkan bangunan batu yang lebih sederhana di sebelahnya adalah makam
Sisingamangaraja X. Makam raja-raja yang lain tak diketahui persis
keberadaannya. Makam Sisingamangaraja XII juga diperdebatkan. Sebagian menilai
makam sang raja ada di Soposurung, Balige.
Dari
Bakkara saya menuju Muara, lalu ke lembah Silindung, lalu mendaki ke
Siborong-borong. Rute ini menentang arah Belanda mengejar Sisingamangaraja XII.
Walau sudah beraspal, tetapi jalan berliku dan mendaki menimbulkan ngeri,
terbayang lembah menjadi benteng pertahanan tangguh.
Hujan
deras mengguyur ketika saya menuju Balige, tanah yang pernah memerah oleh darah
sang raja yang ditembus peluru Hamisi, marsose Belanda asal Ambon. Kematian
tragis sang pahlawan yang selalu meneriakkan agar sesama ”mata hitam” bersatu
padu melawan sang penjajah yang disimbolkan dengan ”mata putih”.
”Ahu
Sisingamangaraja,” kalimat sang pahlawan kepada Harmisi sebelum mengembuskan
napas terakhir terngiang dalam perjalanan menuju Medan.
Lambang
Sisingamangaraja
Kalau yang putih menggambarkan “
Partondi Hamalimon” mengambarkan tetang agama. Kalau yang merah Parsinabul
dihabonaran yang berarti menyunjung tinggi kebenaran. Kalau yang bulat
mengambarkan “Mataniari Sidomppakkon” matahari yang tidak bisa ditentang
menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja. Sementara delapan sudut ini
mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa.
Sementara pisau yang kembar menggambarkan keadilan sosial. Itu semua ada sejak
Sisingamangaraja pertama.
Piso Gaja Dompak
itu sekarang dimana?
Di Museum Nasional. Saya juga
baru tahun lalu melihat itu. Sebelum acara pesta 100 tahun Sisingamangaraja XII
kami diajak melihat Piso Gaja Dompak itu. Kami diantar ke tempatnya Piso Gaja
Dompak itu, saya kenalkan diri. Saya melihat sarungnya sudah lapuk. Gajah itu
memang ada. Saya ingat dulu yang menyimpan Piso Gaja Dompak ini Sunting Mariam
putrinya yang nomor dua. Dia meninggal 1979. Dulu saya ingat pesannya bahwa di
ujung pangkal pisau ini ada permata merah. Lalu kepala museum mengelap dan
memang kelihatan mutiara merah.
Kalau dulu Piso
Gaja Dompak itu memang selalu dibawa?
Selalu
dibawa. Memang itulah kekuatannya, salah satu penambah keyakinan.
HORASSSS ! ! !
BalasHapusMantap.
BalasHapusperjuangan menjadi dasar kemerdekaan
BalasHapus