Welcome to http://jadimanhutapea.blogspot.com

Laman

Falsafah Sosial Suku Batak

Merupakan sebuah aspek kehidupan yang penting bagi orang batak, yakni falsafah sosial orang batak. Falsafah yang dimaksud ialah Dalihan Na Tolu dan Suhi Ni Ampang Na Opat.  Falsafah ini sudah lama ada di kehidupan suku Batak dan merupakan rujukan di dalam aktifitas kemasyaraktan seperti uparaca ada perkawinan, upacara kematian, memasuki rumah, musyawarah dan yang lainnya. Falsafah tersebut sekaligus pedoman dalam bertingkah laku “ adat sopan santun” dalam pergaulan interaksi kekerabatan yang kecil sampai kelompok besar.

Dalihan Na Tolu ( Tungku yang Tiga)
Secara harfiah bermakna “tungku yang tiga”. Diambil dari kebiasaan orang Batak pada masa bersahaja dahulu ketika memasak sesuatu makanan diatas batu yang jumlahnya tiga dan sama sisi. Dalihan Na Tolu pada masyarakat batak adalah asas system kekerabatan dan semua aktifitas.

Dalihan Na Tolu dilatarbelakangi oleh adanya krisis social kekerabatan pada generasi ketiga setelah Si Raja Batak. Peristiwa dimaksud terjadinya marsumbang atau kawin incest antara Tuan Sariburaja dengan saudari kandungnya(iboto) yang bernama si Boru Pareme. Kedua orang tersebut adalah anak dari Tatea Bulan sebagai generasi kedua beserta Raja Isumbaon. Akibat perbuatan itu Sariburaja dikabarkan lari kedalam hutan sementara siboru pareme juga diusir dari kampong Sianjur Mulamula.
Kemudian masa berikutnya, Raja Lontung mengawini ibu kandungnya (siboru Pareme) yang sebelumnya diketahui istri bapaknya sendiri. Akibatnya terjadi perpecahan hubungan kekerabatan seluruh keturunan Tatea Bulan.
Belajar dari perbuatan itu, keturunan Tatea Bulan dan Raja Isumbaon memikirkan suatu norma yang akan mencegah perbuatan memalukan itu. Sejak itu timbullah gagasan suatu konsep dasar aturan tentang batasan hubungan kekerabatan antar keturunan mereka secara lisan yang kemudian disebut Dalihan Na Tolu. 
Semakin bertambahnya penduduk maka semakin terbuka kemungkinan perkawinan antar puak puak yang pada akhirnya masyarakatnya semakin kompleks. Maka dimulailah penggolongan anggota masyarakat dengan kategori Hula hula, Boru, dan dongan sabutuha (teman satu marga).
Pertama, ialah dongan sabutuha yang bermakna lahir dari perut yang sama atau disebut juga dongan tubu(teman satu kelahiran). Makna yang pertama menggambarkan hubungan keluarga yang masih dekat seperti satu ompung (kakek). Makna yang kedua adalah keluarga besar yang satu marga tanpa memandang hubungan silsilah yang dekat.  Fungsi dongan sabutuha dalam system kekerabatan adalah sebagai pendamping dan penolong bagi keluarga yang satu marga apabila ada dari satu marga bertindak sebagai suhut (tuan rumah).
Kedua, ialah hula hula . mereka ini wajib dihormati oleh boru baik dalam hubungan social sehari hari maupun adat, karena status mereka adalah si pemberi istri (wife givers). Golongan didalamnya adalah orangtua perempuan si pemberi istri beserta semua “ dongan sabutuha”-nya.
Ketiga, ialah boru  atau kebalikan dari hula hula. Dalam dalihan na tolu diposisikan sebagai si pengambil istri (wife takers). Fungsi boru boleh dikatakan sebagai kelompok “si loja loja” karena dialah yang bertindak sebagai petugas utama dalam upacara adat perkawinan dan upacara lain. Bahkan lebih dari itu pihak boru harus si penyumbang dana yang terbesar bagi pihak hula hula.
Demikianlah  ketiga komponen itu menyatu dalam Dalihan Natolu diterapkan dalam upacara perkawinan, tata krama pergaulan hidup.  Inti dari falsafah itu adalah : hormat marhula hula (hormat kepada pihak si pemberi istri), elek marboru (pandai membujuk boru) dan manat mardongan tubu (sesama saudara semarga lebih berhati hati).

Suhi Ni Ampang Na Opat
Secara harfiah “Suhi Ni Ampang Na Opat” berarti sudut ampang yang empat. Istilah ini di ambil dari kata ampang yang dalam bahasa Batak bermakna sejenis keranjang yang hamper serupa bentuknya dengan bakul. Ampang ini memiliki empat “suhi”(sudut). Dari ampang yang bersegi empat ini menjadi symbol falsafah “Suhi Ni Ampang Na Opat”. 

Komponennya adalah
·         Hormat marhula hula (hormat kepada si pemberi istri)
·         Elek marboru (bersikap membujuk kepada sipengambil istri)
·       Manat mardongan tubu (hati hati sesama kakak adik atau sesama marga)
·         Hormat mar-raja (hormat kepada raja).

Dalam penerapannya, raja tetap didaulat sebagai orang yang penting dan utama dan bukan diibaratkan seperti sihal-sihal yang sewaktu saja dibutuhkan. Dalam acara, posisi raja disejajarkan dengan hula hula, boru dan dongan sabutuha. Khusus dalam keagamaan, semua yang termasuk pemimpin agama mendapat jambar (bagian tersendiri sebagai penghormatan kepada mereka) 

2 komentar:

javascript:void(0)