Si Raja Batak - Tarombo Hutapea, Laguboti
Profile Kecamatan Laguboti
Hutahaean,Aruan,Hutajulu,Sibarani,Sibuea,Hutapea,Pangaribuan semuanya ini adalah marga-marga keturunan dari Sipaettua.Marga-marga inilah yang pertama kali menduduki tanah Laguboti.Dan setelah beberapa masa, keturunan dari marga-marga lain datang ke Laguboti, dengan ceritanya masing-masing dan tujuan masing-masing juga.Maksudnya ada yang datang ke Laguboti hanya mencari sanak saudaranya yang pergi dari kampungnya, ga ketemu akhirnya menetap di Laguboti, ada juga karena kerjaannya seorang tabib/datu bolon, akhirnya menetap di Laguboti,,bermacam-macam ceritanya.
Marga-marga yang ada di Laguboti selain marga-marga Sipaettua,ada juga marga-marga yang sudah lama berdiam dan menetap di Laguboti seperti Pasaribu dan Lubis di Haunatas,Simatupang di Gasaribu, Sinurat,Situmorang,Sitinjak di Ujungtanduk, Naipospos, Hasibuan, Sitompul, LumbanTobing di Hutatinggi/hutahaean dan marga Haro Raja guk-guk di bariba aek Hutahaean.
Selamat Datang di Kecamatan Laguboti
Oppung Raja Sisingamangaraja
Tongkat Raja Sisingamangaraja
XII
Peninggalan yang tidak kalah
penting untuk diperhatikan ialah Pohon Hariara yang terletak di Desa Sinambela
Kec. Bakti Raja, Kab. Humbanghasundutan, Sumatera Utara. Konon katanya pohon
ini adalah tongkat dari Raja Sisingamangaraja yang ditancapkan di tanah dan
sampai sekarang tumbuh subur di daerah tersebut.
Pohon ini sudah berusia ratusan
tahun dan sangat dihargai oleh masyarakat setempat, tetapi masyarakat setempat
masih kurang memahami dan tidak memiliki pengetahuan tentang pelestarian budaya
peninggalan sejarah. Hariara adalah sejenis pohon yang menyerupai pohon
beringin dan pohon hariara ini banyak terdapat di daerah Pulau Samosir. Tongkat
Raja Sisingamangaraja ini memiliki ukuran yang sangat besar yang memiliki
tinggi kurang lebih 30 meter dan diameter batangnya kira-kira 3 meter.
Pelestarian
budaya sangat ditunjang dengan pengetahuan yang baik tentang peninggalan
sejarah, minimal cinta akan budaya sendiri. Untuk melaksanakan hal tersebut
perlu disosialisasikan kepada masyarakat tentang kecintaan terhadap peninggalan
sejarah
Cerita Singkat
Riwayat Raja Sisingamangaraja XII
Ketika Sisingamangaraja XII
dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada
tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan
tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan
Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu
dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu
negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja
XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai
kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De
Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
Tahun
1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi
pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke
tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak,
Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena
itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu
daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut
“Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan
di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang.
Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae,
Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda
dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De
Onafhankelijke Bataklandan’.Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada
Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di
mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Tetapi
ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings”
Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya
dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di
Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas. Raja
Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung,
namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak,
bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak. Raja
Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda
mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi
Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat
bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak
lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar
Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga
keputusan sebagai berikut :
1.
Menyatakan perang terhadap Belanda
2.
Zending Agama tidak diganggu
3.
Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini,
Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang
terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan
anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat
membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.Tahun 1877, mulailah
perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.Dimulai di
Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30
tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang
pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII. Pasukan Belanda
yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar
Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil
dihempang.
Belanda merobah taktik, ia
menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik
Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade
terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai
Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima
Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru
setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu
batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun
1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII,
kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan
Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga.
Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja
Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta
Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII
dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya
sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang
melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada
tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan
Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih.
Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari
serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar
Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja
XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia,
juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain. Pada
waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu
alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang
kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front
perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi
koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam
gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja
Sisingamangaraja XII.
Perlawanan
pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga
berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari
Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan
para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan
Belanda.
Regu
pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian
Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal.
Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na
Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima
Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu
Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja
XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung,
Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal
Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat
Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda.
Ini terjadi pada tahun 1889. Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus
Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda
mulai berhasil di Aceh.
Tahun
1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja
Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah
pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.Tahun 1907,
pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung
Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia
bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja
XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja
XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang
Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri
Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun
1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon,
di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang,
gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten
Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan
Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal
peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di
pangkuannya.
Pengikut-pengikutnya
berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga
Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun
ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal
menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih,
ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade,
telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air
dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan “Semangat
Juang Sisingamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama
generasi muda.
Sisingamangaraja
XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk
kesenangan pribadi. Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan
perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup
menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan
diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda.
Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van
Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri
kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila
bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan
dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja
Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah
daripada hidup di peraduan penjajah. Raja Sisingamangaraja XII gugur pada
tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia.
Dan cuma 38 tahun kemudian,
penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945,
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta. Kini Sisingamangaraja XII
telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan
pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat
agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan
yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.
Dalam upaya melestarikan system
nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII
dengan menggali khasanah budaya dan system nilai masa silam yang dikaitkan
dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih
sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM
Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja
Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik
Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10
Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri
sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI
Maraden Panggabean.
Kemudian
oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan
Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas
Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli
Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.
Peluang Menjadi
Raja Sisingamangaraja XIII Masih Terbuka
Peluang untuk menjadi Raja
Sisingamangaraja XIII, penguasa tanah Batak, Sumut, masih tetap terbuka setelah
puluhan tahun mengalami kekosongan. Raja Sisingamangaraja XII tewas tertembak
dalam pertempuran melawan tentara kolonial Belanda di Dairi pada awal abad XX.
Pahlawan legendaris dari Toba itu tanpa sengaja melanggar pantangannya sendiri,
kepercikan darah anak perempuan nya, Lopian, yang tertembak pasukan marsose
Belanda, pimpinan Kapten Christoffel. Lopian, anak kesayangan baginda,
merupakan srikandi yang terus mendampingi ayahnya bertempur melawan Belanda.
Kapten Christoffel menyerukan pada baginda untuk menyerah, tapi
Sisingamangaraja memilih untuk mati. Lopian, gadis remaja yang pemberani itu
ternyata hanya mendapat luika ringan. Tapi pasukan marsose bertindak keji.
Setelah tertawan, gadis yang gagah berani itu kemudian dibunuh dan mayatnya
dilemparkan ke Sungai Pancinoran di kaki gunung Batu Gajah. Sejak peristiwa
tragis itu posisi Raja Sisingamangaraja tidak pernah terisi lagi.
Jhoni Sinambela, salah seorang
tokoh Batak yang satu marga dengan Sisingamangaraja ketika dihubungi ANTARA
baru-baru ini mengisyaratkan, untuk ditabalkan menjadi Raja Sisingamangaraja
XIII bukanlah kerja yang gampang. Para pengikut tokoh legendaris itu menuntut
ciri-ciri khusus yang menjadi tanda khas bagi pemangku jabatan penguasa tanah
Batak tersebut. “Ciri khas itu berupa lidah berbulu,” katanya sambil
menjulurkan lidahnya. Menurut dia, jika ciri khas itu tidak ada, jangan mimpi
bakal jadi penguasa tanah Batak.
Secara tersembunyi banyak oknum
yang ingin kedudukan yang bergengsi itu, walau pun harus membayar mahal. Namun
tanpa ciri khas adalah mustahil untuk dapat meraihnya. Djohan Samosir yang
berasal dari Tanjung Balai dan pernah bergaul dengan para pengikut Raja
Sisingamangaraja, ketika dihubungi secara terpisah mengungkapkan, banyak
pengikut Sisingamangaraja yang bermukim di sekitar kawasan air terjun Sampuran
Harimau di Kabupaten Toba Samosir. Rumah-rumah pemukiman mereka ditandai dengan
semacam pengibaran bendera putih. Air terjun itu sendiri sudah puluhan tahun
terakhir ini lenyap karena dimanfaatkan untuk PLTA Asahan. Tenaga listrik dari
PLTA ini sebagian besar dimanfaatkan untuk pabrik peleburan aluminium PT
Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) di Kuala Tanjung, Kabupaten Batubara yang
merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan.
Baik
Sinambela mau pun Samosir tidak mempersoalkan angka 13 yang oleh segelintir
orang dianggap sebagai angka sial. “Hal itu tidak betul, karena untuk pelanjut
generasi, nomor urut itu tetap berlaku. Angka sial itu hanya penilaian
segelintir orang saja,” kata Sinambela sambil mengembangkan kelima jari
tangannya dan menggoyang-goyangkan tangannya ke kiri dan kanan. Samosir
mengungkapkan, jika angka 13 itu sial, bagaimana dengan bayi yang lahir pada
tanggal 13. Ia geleng-geleng kepala sebagai pernyataan tidak setuju mengenai
pandangan yang menyimpang itu.
Berdasarkan cerita-cerita
sejarah, Raja Diraja Tanah Batak yang bergelar Sisingamangaraja sebelum jatuh
ke tangan marga Sinambela, terlebih dulu untuk satu generasi di tangan seorang
bermarga Simanulang. Sedangkan sebelumnya untuk 8 generasi berada di tangan
garis lurus dari Tuan Serba Dibanua, Sori Mangaraja dan seterusnya. Untuk masa sebelumnya
di zaman yang silam, tidak diketahui sama sekali. Nama Sisingamangaraja punya
makna tersendiri. “Si” bukan sama nilainya dengan si polan, si anu tapi berarti
poros, pusat atau inti. “Singa” juga bukan binatang buas asal Afrika, namun
berarti konstruksi, kerangka atau bagan. “Manga” berarti maha, agung atau
besar. Sedangkan makna “Raja” yakni kemampuan dan kewibawaan. Jadi
Sisingamangaraja berarti,” Tampuk kewibawaan agung dari konstruksi tata
peradatan TanahBatak”.
Raja Sisingamangaraja sendiri bukanlah
orang Batak yang utuh. Ayahnya Ompu Raja Bona Ni Onan beristerikan adik Raja
Uti Mutiraja, penguasa yang bersinggasana di Lambri, Aceh. Adik raja Aceh ini
kemudian disapa dengan Si Boru Pasaribu. Ini bermakna diporoskan ke dalam marga
Pasaribu. Sebaliknya ibu kandung Raja Uti ini berdasarkan cerita-cerita yang
masih perlu ditelusuri kebenarannya adalah bangsawan Jawa yang diprakirakan
kerabat dari pendiri Kerajaan Majapahit.
Dari
perkawinan Ompu Raja dengan adik Raja Aceh ini lahirlah Raja Mahuta yang
kemudian menjadi Raja Sisingamangaraja I. Berdasarkan tarombo (silsilah) ini,
Raja Aceh mengakui kekuasaan Raja Sisingamangaraja yang untuk pertama kali
menggunakan angka Romawi sampai ke-XII Bukti dari pengakuan ini, Tanah Batak
tidak pernah diperangi pasukan Aceh dan bahkan keduanya bersatu dalam perang
menghadapi musuh bersama. Tanda keakraban ini ditandai dengan diserahkan cap
Sisingamangaraja yang satu bersiku 12 dan satu lagi bersiku 11 dari Raja Aceh.
Cap itu bertuliskan huruf Batak di tengah dan huruf Arab di sekelilingnya.
Peluang untuk menjadi
Sisingamangaraja XIII masih tetap terbuka bagi siapa saja terutama warga Batak.
Akan tetapi ciri khas berupa “lidah berbulu”, kemungkinan hanya turunan
Sisingamangaraja yang memiliki keunggulan tersebut. Sedangkan “piso gajah
dompak” yang menjadi senjata baginda, pada masa lalu hanya baginda yang
dianggap keramat yang mampu mencabutnya. Tapi kini banyak orang yang mampu
mengakalinya hingga tercabut. (Ramothu SD)
Batak ethnic - Let's Save The Culture
Sahat ma hita leleng mangolu, jala sai di dongani Tuhan.